Filsafat Hasrat
“Sejarah adalah proses rasionalisasi.” Penggalan kalimat ini bukan metafora melainkan realita: realita tentang pendewaan rasio yang diamini sebagai ukuran normatif proses humanisasi (baca: pencapaian identitas diri sekaligus pembentuk sejarah hidup manusia). Rasio ditahtakan sebagai tuan atas sejarah hidup manusia dan merupakan access menuju identitas yang pasti. Pada titik ini, rasio adalah fakultas kudus mutlak, sementara unsur lain dalam diri manusia dipandang sebagai fakultas inferior semata.
Bertitik tolak dari pendewaan terhadap rasio ini, sejarah hidup manusia mulai dibangun. Rasio dieksternalisasi, dieksplorasi, dan diakumulasi untuk mengubah realitas menjadi sebuah produk yang bisa dengan mudah dikonsumsi oleh manusia. Realitas dipercanggih sekaligus disederhanakan menjadi produk aplikatif yang langsung bisa dipakai oleh manusia. Aplikasi yang mengorbankan nilai implikasi manusia akan realitas.
Bentuk pencanggihan rasio paling maksimal hadir dalam tampilan birokrasi dan teknokrasi. Teknokrasi dan birokrasi adalah hasil eksternalisasi rasio (baca: bentuk artifisial rasio) dan dengan demikian menjalani fungsi aplikatif paling maksimal. Di sini, birokrasi dan teknokrasi dibaca sebagai mega-machine yang memiliki sistem atau hukum yang sangat ketat. Sistem organisatif adalah ciri khas mega-machine teknokrasi dan birokrasi. Pada gilirannya, sistem ketat birokratif dan teknokratif ini menyedot manusia masuk ke dalam “labirin”, struktur artifisialnya, dan membubuhi manusia dengan sebuah fungsi partisipatif. Pembubuhan fungsi partisipatif mau tidak mau diterima manusia sebagai the given karena fungsi partisipatif adalah access menuju wilayah sosial. Pada saat “ditatoi” fungsi partisipatif, tubuh manusia menjadi rentan akan imagi-imagi sosial, aksioma, atau simulasi. Elemen-elemen sosial ini menyerang tubuh setiap individu, memenjarakan manusia, menstruktur wilayah kesadaran bahkan ketidaksadaran manusia. Totalitas manusia, dengan demikian, terkontaminasi sangat parah oleh elemen-elemen sosial.
Tetapi, Ego yang sadar malahan mengadopsi semua imagi-imagi sosial tersebut dan menjadikannya sebagai elemen fundamental pembentuk komposisi self. Dengan kata lain, Ego yang sadar membiarkan dirinya ditato oleh unsur eksternal dan mengalami “masturbasi” saat dilukai. Pada titik ini, manusia adalah diri yang fasis: subjek yang menginginkan orgasme saat bersetubuh dengan unsur-unsur eksternal. Manusia melemparkan dirinya ke dalam lautan imagi, aksioma, dan simulasi sosial kemudian membiarkan dirinya didominasi oleh logika tatanan sosial. Pelemparan diri manusia ke dalam tatanan sosial, awalnya, bertujuan luhur, yakni untuk mencapai humanisasi. Tetapi, humanisasi “mengelak” dari kejaran manusia dan yang dicapai adalah alienasi. Alienasi terjadi karena komposisi self setiap individu distruktur oleh tatanan sosial sebagai unsur eksternal.
Dengan demikian, hasil akhir dari humanisasi adalah alienasi dan terbentuknya subjek-subjek fasis, entah berskala individual (diri fasis) maupun sosial (masyarakat fasis). Karena itu, pengadilan terhadap rasio dan sejarah rasionalisasi mesti dimunculkan kembali. Pengadilan terhadap rasio dilakukan karena selain membimbing manusia pada alienasi, sejarah yang bertumpu pada rasio ternyata mengorbankan fakultas lain dalam diri manusia. Sebab, untuk mencapai humanisasi, manusia membunuh bagian lain dari dirinya: hasrat. Dari sisi ini, sejarah rasionalisasi sebenarnya dimulai dengan manipulasi: pendewaan terhadap rasio serta penyingkiran epistemologis dan sikap indiferen terhadap hasrat. Dengan kata lain, hasrat menjadi tumbal dan dibunuh atau ditaklukkan dalam sejarah rasionalisasi.
Bertitik tolak dari pendewaan terhadap rasio ini, sejarah hidup manusia mulai dibangun. Rasio dieksternalisasi, dieksplorasi, dan diakumulasi untuk mengubah realitas menjadi sebuah produk yang bisa dengan mudah dikonsumsi oleh manusia. Realitas dipercanggih sekaligus disederhanakan menjadi produk aplikatif yang langsung bisa dipakai oleh manusia. Aplikasi yang mengorbankan nilai implikasi manusia akan realitas.
Bentuk pencanggihan rasio paling maksimal hadir dalam tampilan birokrasi dan teknokrasi. Teknokrasi dan birokrasi adalah hasil eksternalisasi rasio (baca: bentuk artifisial rasio) dan dengan demikian menjalani fungsi aplikatif paling maksimal. Di sini, birokrasi dan teknokrasi dibaca sebagai mega-machine yang memiliki sistem atau hukum yang sangat ketat. Sistem organisatif adalah ciri khas mega-machine teknokrasi dan birokrasi. Pada gilirannya, sistem ketat birokratif dan teknokratif ini menyedot manusia masuk ke dalam “labirin”, struktur artifisialnya, dan membubuhi manusia dengan sebuah fungsi partisipatif. Pembubuhan fungsi partisipatif mau tidak mau diterima manusia sebagai the given karena fungsi partisipatif adalah access menuju wilayah sosial. Pada saat “ditatoi” fungsi partisipatif, tubuh manusia menjadi rentan akan imagi-imagi sosial, aksioma, atau simulasi. Elemen-elemen sosial ini menyerang tubuh setiap individu, memenjarakan manusia, menstruktur wilayah kesadaran bahkan ketidaksadaran manusia. Totalitas manusia, dengan demikian, terkontaminasi sangat parah oleh elemen-elemen sosial.
Tetapi, Ego yang sadar malahan mengadopsi semua imagi-imagi sosial tersebut dan menjadikannya sebagai elemen fundamental pembentuk komposisi self. Dengan kata lain, Ego yang sadar membiarkan dirinya ditato oleh unsur eksternal dan mengalami “masturbasi” saat dilukai. Pada titik ini, manusia adalah diri yang fasis: subjek yang menginginkan orgasme saat bersetubuh dengan unsur-unsur eksternal. Manusia melemparkan dirinya ke dalam lautan imagi, aksioma, dan simulasi sosial kemudian membiarkan dirinya didominasi oleh logika tatanan sosial. Pelemparan diri manusia ke dalam tatanan sosial, awalnya, bertujuan luhur, yakni untuk mencapai humanisasi. Tetapi, humanisasi “mengelak” dari kejaran manusia dan yang dicapai adalah alienasi. Alienasi terjadi karena komposisi self setiap individu distruktur oleh tatanan sosial sebagai unsur eksternal.
Dengan demikian, hasil akhir dari humanisasi adalah alienasi dan terbentuknya subjek-subjek fasis, entah berskala individual (diri fasis) maupun sosial (masyarakat fasis). Karena itu, pengadilan terhadap rasio dan sejarah rasionalisasi mesti dimunculkan kembali. Pengadilan terhadap rasio dilakukan karena selain membimbing manusia pada alienasi, sejarah yang bertumpu pada rasio ternyata mengorbankan fakultas lain dalam diri manusia. Sebab, untuk mencapai humanisasi, manusia membunuh bagian lain dari dirinya: hasrat. Dari sisi ini, sejarah rasionalisasi sebenarnya dimulai dengan manipulasi: pendewaan terhadap rasio serta penyingkiran epistemologis dan sikap indiferen terhadap hasrat. Dengan kata lain, hasrat menjadi tumbal dan dibunuh atau ditaklukkan dalam sejarah rasionalisasi.
Di penghujung sejarah rasionalisasi, Nietzsche datang dan memperkarakan status rasio sebagai ukuran normatif sejarah. Nietzsche datang membawa pedang dan membunuh rasio dari ranah filosofis. Rasio dibunuh dan diganti dengan hasrat: will to power. Pada titik ini, Nietzsche adalah filsuf yang mengembalikan “anak yang hilang” (the orphan desire) yang telah lama diabaikan dalam sejarah manusia.
Penemuan kembali the orphan desire oleh Nietzsche dirayakan dalam filsafat poststrukturalisme dan postmodernisme, melalui filsuf-filsuf Nietzschean. Deleuze dan Guattari adalah filsuf dan psikolog yang mengikuti jalur Nietzschean ini. Dalam kerangka Nietzschean, Deleuze dan Guattari mengadili rasio dengan menghadirkan kembali hasrat ke wacana diskursus. Penghadiran kembali hasrat ke wacana diskursus, sebenarnya, adalah penegasan terhadap kehadiran hasrat dalam realitas yang selama sejarah rasionalisasi diabaikan begitu saja. Sebab, bagi Deleuze dan Guattari, hasrat ada di mana-mana. Hasrat tidak pernah benar-benar ditaklukkan. Kehadirannya pada realitas sosial dan diri tidak bisa direpresi. Dengan kata lain, penjinakan terhadap hasrat dalam sejarah rasionalisasi adalah usaha yang sia-sia. Kastrasi atau pengebirian terhadap hasrat hanya akan menyuburkan kelahiran hasrat dalam jumlah yang lebih banyak lagi.
Hal ini tidak terlepas dari essensi hasrat sebagai roh yang selalu bergerak melampaui kategori ruang dan waktu, juga ruang dan waktu milik struktur-struktur sosial. Selain itu, hasrat didefinisikan sebagai mesin produktif yang selalu menghasilkan aliran-aliran yang disebut sebagai aliran skizofrenik hasrat. Ciri skizofrenik atau ke-“roh”-an hasrat memiliki beberapa konsekuensi logis:
1. pada level individu, hasrat skizofrenik membongkar segala identitas bentukan sosial yang opaque dalam diri dan menawarkan cara berada baru, yaitu membentuk subjek-subjek pasca fasisme: tubuh-tubuh nomadik. Tubuh-tubuh nomadik ditandai dengan proses migrasi manusia tanpa henti dari eksistensi yang satu ke eksistensi yang lain. Dengan kata lain, tubuh nomadik adalah diri yang berada dalam posisi transisional dan selalu berproses.
2. pada level makro, hasrat skizofrenik mengandung potensi revolusioner dan siap menumbangkan segala tatanan sosial yang ada. Penghancuran tatanan sosial adalah cara untuk membebaskan gerakan hasrat skizofrenik. Sebab, hasrat skizofrenik, pada dasarnya, selalu mengeksternalisasikan diri tanpa mengenal kriteria pembatas sosial apa pun.
Tentu saja, usaha untuk mengangkat hasrat ke wacana diskursus bukan usaha yang mudah. Deleuze dan Guattari membentangkannya ke hadapan kita dalam bahasa dan pemikiran yang radikal. Radikalisasi pemikiran mereka terletak pada penciptaan konsep-konsep yang kebanyakan tidak bisa dicari referensinya pada sejarah filsafat rasionalis. Selain itu, dan yang terutama, pemikiran mereka adalah tawaran untuk menjalani hidup “abnormal” dari kaca mata kenormalan sosial.(diambil dari pengantar buku "Skizoanalisis Deleuze-Guattari: Pengantar Genealogi Hasrat", karya Agustinus Hartono)
No comments:
Post a Comment